Jurnalistik "Pengalaman"

        

Sebuah Pesan

Oleh: Tiara Rizqy



            Terkadang ada hal yang ingin disampaikan manakala hati tak bisa berkata-kata hanya mengunci rapat dengan diam termenung. Masa yang indah dan pengalaman yang tak terlupa. SMP 2012-2013, adalah hal yang paling membekas dan teringat sampai detik ini. Sepucuk surat kabar dari seseorang yang ku terima di sore hari. Di bawah pohon rindang seseorang datang menemui tepat dihadapnku. Teman-teman hanya bersorak ria mendandakan mereka bahagia ketika aku bisa menggenggam tangannya. Memang menyenangkan masa-masa SMP dengan berbagai cerita, senang, suka, dan duka. Keceriaan terukir pada masing-masing raut wajah mereka. Senyum manis dan sumringah yang terukir.

“Ahh… manis sekali rasanya melihat kalian tertawa gembira” kataku dengan membalas senyuman mereka.

Di musholla, siswa siswi berkumpul untuk melaksanakan doa bersama menjelang ujian bagi siswa kelas 3 SMP. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB, doa bersama dilaksanakan. Bukannya berdoa, banyak dari mereka ada yang bercanda ria dan menggoda satu sama lain. Aku yang sedang menatap ke dapan, menatap anak laki-laki yang duduk tepat di tengah-tengah anak lainnya. Punggungnya besar dan badan yang tinggi. Sontak saja aku terbangun dari lamunan manatapi anak laki-laki tersebut. Ketika guru menegur beberapa siswa yang bercanda. Seketika anak lelaki tersebut juga menoleh kea rah belakang, aku pun juga menoleh ke arahnya. Tak kusangka dia juga sedang menatap kedua mataku.

Sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri “tidak mungkin dia menatapku seperti itu dengan mata yang menenangkan dan dengan senyumannya yang khas”.

Sampai rumah aku meletakkan tas dan merapikan beberapa sepatu untuk ku kembalikan ke tempat semula. Ku letakkan badanku untuk sejenak merebahkan ke kasur. ku membuka tas ransel untuk mengeluarkan tepak makanan dari ibu. kutemukan sepucuk surat dengan dimasukkan ke dalam amplop yang lucu dengan berbentuk hati.  Dengan mata lelah, kupaksakan membuka pesan tersebut.

Sepucuk surat kubaca perlahan. Tertulis “Tiara, aku tau selama 2 tahun ini kau menyukaiku. Aku hanya tidak sadar jika tatapanmu itu sebuah rasa yang dalam yaitu adanya rasa. Mengapa aku baru sadar di hari ini juga, ketika semuanya akan berpisah sebelum ujian dilaksanakan. Mengapa harus sekarang Tiara? Dari temanmu aku tau semua perasaanmu, dia menceritakan segala hal tentang dirimu. Ku kira aku saja yang pada saat itu dan hari ini juga masih menyimpan rasa suka padamu tir. Aku mengucapkan beribu minta maaf dan terima kasih telah menyukaiku. Awal di kelas 8 pada saat itu, aku senang dekat denganmu kita berbagi tugas bersama. Mungkin itu awal tir. Sekali lagi aku berterima kasih rasa suka ini tidak bertepuk sebelah tangan.” Seketika air mataku terjatuh membasahi pipi. Aku bertanya pada diriku, apakah ini balasan pesan dari hati yang selama ini kupendam kupandangi dia dari kejauhan? Ku mengakui cinta pertama yang terbalaskan pada hari itu juga. Dia yang tampan dengan senyuman manis membuat aku jatuh hati padanya awal SMP. Dia memberikanku sebuah buku yang didalamnya terdapat tulisan tangannya yang bertuliskan "Buku ini akan menjadi milikmu, jaga dan simpan baik. Aku hanya ingin kamu Tiara, membaca dan selalu mengingatku di sore hari menjelang matahari terbenam sungguh akan lebih terasa jika kamu membaca di waktu itu." Aku hanya tidak menyangka dia bisa semanis ini. Dia yang terkenal dengan sifat pendiam dan dingin, tapi dibalik itu dia mempunyai hati lembut dan perasa.

Sudah 3 tahun aku selalu mengirim kabar pesan dengannya meskipun tidak setiap hari dipisahkan antar provinsi membuat kami hanya mengirim pesan dan berkabar di sosial media. Setiap hari dia tidak berubah. Dia masih sama tetap menyukaiku dengan apa adanya saat SMP. Awal yang indah dan berakhir dengan indah juga. Sebuah pesan yang seketika dan perlahan mulai lenyap. Perlahan aku paksakan untuk tidak mengharapkannya lagi dan hati sudah mulai terbiasa ketika dia sudah hilang kabar dan sudah tidak bertegur sapa. Cinta pertama dengan sebuah pesan terukis manis di bangku SMP.


        Sidoarjo, 2021

Komentar