Kritik Esai Puisi Karya Taufiq Ismail

 

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia




I

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

 

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia

 

Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya

Dadaku busung jadi anak Indonesia

 

Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D. dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini

 

II

Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

 

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,

 

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan,

 

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

 

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,

 

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,

 

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-

sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-

besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

 

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak

putus dilarang-larang,

 

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat

belanja modal raksasa,

 

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang

saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan

pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan

diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

 

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak

rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya

dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek

Jakarta secara resmi,

 

Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima

belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

 

Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,

fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,

 

Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror

penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil

bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor

pertandingan yang disetujui bersama,

 

Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala

Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala

Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,

India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah

Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

 

Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat

terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur

Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula

pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta

terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,

dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai

saksi terang-terangan,

 

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam

kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di

tumpukan jerami selepas menuai padi.

 

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

 

1998

 

Puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia menggambarkan sosok Aku yang malu dengan perbuatan atas bangsanya sendiri. Penyair merasa malu di hadapan bangsa-bangsa lain karena kehancuran Indonesia sudah menjalar masuk ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari selingkuh birokrasi (korupsi, kolusi, dan nepotisme)  yang sampai pada ranah masalah budi pekerti sampai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pada penggalan kutipan bait puisi berikut:


Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan,

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,


Puisi tersebut memperlihatkan adanya aspek pengetahuan dan sosial. Pada puisi tersebut menceritakan kecintaan Taufiq Ismail pada Indonesia. Kecintaannya tersebut harus ia tuangkan dengan kepedihan. Puisi tersebut merupakan sebuah representasi seorang yang benar-benar tegak akan hukum yang buta akan kejadian yang sebenarnya ada. Taufiq Ismail seorang penyair yang berani menyampaikan kritikannya demi masa depan negeri sendiri. Puisi tersebut menggambarkan adanya kritik sosial yaitu kritik terhadap pemerintah berupa pelanggaran hukum, masalah birokrasi, sikap materialistis, praktik kekuasaan, perbuatan tidak bertanggung jawab, kecurangan pemilu, masalah kemiskinan, kesehatan, kejahatan, dan pendidikan. Kritik terhadap pengusaha berupa sikap penyelewengan. Puisi tersebut juga menggambarkan kritik terhadap masyarakat yang berupa masalah pendidikan akibat kemalasan dan sikap masa bodoh, yaitu tidak adanya budaya membaca yang diterapkan dan tidak adanya rasa malu yang dimiliki pada saat itu.

Dalam puisi karya Taufiq Ismail tersebut pengungkapan yang bersifat langsung yaitu berupa uraian. Bahasa yang digunakan penyair, sederhana yang mudah dipahami dan komunikatif. Diksi pada bagian pertama, bait pertama puisi penyair menggunakan kalimat, Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia. Kalimat tersebut menyatakan bahwa penyair gembira menjadi anak revolusi Indonesia. Karena kata revolusi tersebut mengandung makna perubahan dalam bidang politik. Majas yang digunakan dalam puisi ini adalah majas perulangan. Hal ini terlihat pada penggunaan penggalan puisi di bawah ini:


Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia


Pada puisi karya Taufiq Ismail “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” banyak keterkaitannya pada zaman pemerintahan sekarang. Seperti, banyaknya orang-orang yang berbuat kecurangan, orang-orang yang tidak tahu malu, ambisius demi mendapatkan kesenangan dan uang serta menghalalkan segala cara untuk berbuat yang tidak manusiawi. Masyarakat yang selalu ingin menang sendiri tanpa ingin kreatif dan antri untuk mendapatkan sesuatu. Adanya keresahan masyarakat terhadap keadaan negara yang sudah campur aduk dan berantakan, sekalipun banyak orang yang membuka suara hanya menambah kerunyaman. Puisi ini mengungkapkan sikap khawatir terhadap negara yang sudah berantakan dan akan dipegang kendali di tangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Masyarakat yang tidak segan-segan tunduk atas kuasa politik atau pemerintahan dahulu maupun sampai saat ini


Komentar