Kritik Esai Kumpulan Cerpen


Karya M. Shoim Anwar. Dikliping tanggal 15 Januari 2018 dalam kategori Arsip Cerpen, Jawa Pos

Karya M. Shoim Anwar. Dikliping tanggal 20 Februari 2017 dalam kategori Arsip Cerpen, Media Indonesia
Karya M. Shoim Anwar. Dikliping tanggal 17 Januari 2017 dalam kategori Arsip Cerpen, Jawa Pos

Karya M. Shoim Anwar. Dikliping tanggal 31 Agustus 2015 dalam kategori Arsip Cerpen, Jawa Pos
Karya M. Shoim Anwar. Dikliping tanggal 3 Februari 2015 dalam kategori Arsip Cerpen, Jawa Pos


Pada kritik esai cerpen kali ini, akan membahas kelima cerpen karya M. Shoim Anwar. Sungguh menarik jika kita lihat pada kelima cerpen tersebut. Karena latar belakang yang diambil dan diceritakan sendiri mengenai sosial. Terdapat perbedaan dan persamaan dari kelima cerpen tersebut. Cerpen di atas menggambarkan kritik sosial yang terjadi masa lampau maupun saat ini. Dengan dikaji kritik sosial yang ada pada karya sastra. Kritik sosial merupakan ilmu yang terdapat dalam kajian kritik sastra. Kritik sosial berfungsi demi pengaturan sebuah metode sosial atau operasi masyarakat, sebagai salah satu bentuk sarana untuk berkomunikasi. 
Menurut Soekanto (2005: 358), persoalan sosial adalah suatu ketidaksetakaran antara unsur-unsur peradaban atau masyarakat, yang mengancam kehidupan kelompok sosial atau mengimpit terpenuhinya kepentingan-kepentingan pangkalan warga kelompok sosial tersebut, sampai menyebabkan kepincangan rangkaian sosial. Penyampaian kritik sastra juga bisa melalui karya sastra, seperti cerpen. Di dalam pengkajian cerpen terdapat unsur-unsur kritik sosial yang biasanya dijadikan gambaran realita kehidupan bermasyarakat, karena cerpen biasanya dibentuk melalui kehidupan dalam bermasyarakat. Berdasarkan yang tergambar dari kelima cerpen di atas, maka penting untuk dikaji unsur kritik sosial dari kelima cerpen. Permasalahan yang diangkat dan dikritik ada pada kelima cerpen di atas. Kelima cerpen yang di atas karya M. Shoim Anwar tersebut memperjelas bahwa pendekatan yang dikaji pada segi struktural, yaitu tema, tokoh dan penokohan, serta alur. Tentu jika dilihat dan ditilik lebih dalam secara keseluruhan dari kelima cerpen berbeda. Pada kelima cerpen secara keseluruhan ada yang menggunakan bahasa asing, ada juga dengan gaya bahasa yang sederhana, dan adanya kalimat yang tidak baku yang dituangkan, dan dengan alur yang berbeda pula. 
Dalam cerita pendek “Sorot Mata Syaila” dilihat secara lebih dalam dan terperinci bahwa cerita yang digambarkan bahwa pada pertemuan pertama tokoh Aku dan Syahila sangat dominan lebih mesra dan seperti jatuh cinta pada pandangan pertama mereka. Hingga tokoh Aku tidak segan-segan untuk mempersilahkan syaila duduk berada disampingnya. Sungguh pertemuan pertama yang mengesankan dengan wanita Gaun panjang terusan warna hitam yang dikenakan, abaya. Kulitnya bersih dan cerah membuat bulu-bulu itu tampak dari pangkal tumbuhnya hingga ujung. Sementara kuku-kukunya dipotong agak meruncing, warnanya merah muda seperti buah kurma menua di pohonnya. Pada cerpen tersebut jika digali lebih dalam lagi terdapat kajian sosiologi sastra. 
Menurut (Damono, 2013:9), sastra dalam zaman industri ini dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu, hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara, dan sebagainya lihat. Pada kajian sosiologi sastra cerpen berjudul “Sorot Mata Syaila” tersebut adanya masalah krtik sosial budaya dan bias dilihat pada kutipan cerpen di bawah ini: “Awalnya aku merasa ragu. Maklum di belahan dunia Arab antara laki-laki dan perempuan umumnya dipisahkan dengan ketat. Tapi ini di Abu Dhabi, bukan Kota Suci Makkah atau Madinah yang memerlukan waktu sekitar dua jam dengan pesawat ke sana”. Dari pernyataan di atas sudah terlihat jelas bahwa budaya sosial yang terlihat dari cara berpakaian laki-laki dan perempuan, karena di setiap negara berbeda budaya yang ada. Itu yang membedakan dari kelima cerpen karya M. Shoim di atas. Penulis membedakan dengan perbedaan negara dan suasana yang tergambar secara visual dari cerpen-cerpen di atas. Dan pada suasana pertemuan di Di negeri Uni Emirat Arab dengan maskapai penerbangan Etihad Airways nomor penerbangan EY 474. Suasana yang tergambar penulis sudah mensuguhkan bentuk kritik sosial yang terjadi. Hal itu dibuktikan pada kutipan di bawah ini: 
 “termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk pemerikasaan penyidik”. 
 Maksud dari pernyataan tersebut sudah tergambar dengan jelas bahwa secara sengaja dan menghindar untuk tidak ingin hadir saat pemeriksaan penyidik. Kutipan berikutnya terkait kritik sosial yang ada pada judul cerpen “Sorot Mata Syaila” berikut ini: 
 “Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada”. 
 Maksud dari kutipan di atas bahwa seperti yang ada dan terjadi ketika adanya kasus Setya Novanto (DPR). Dalam kasus tersebut sudah terlihat dengan jelas bahwa adanya krtik sosial yang terjadi. Dalam suasana itu, penulis ingin terlihat lebih mengungkapkan suasana yang terjadi, bahwa lucunya ketika ada sebuah kasus tetapi manusia yang lainnya malah lebih berpura-pura. Sungguh suasana kejengkelan dan amarah yang penulis ungkapkan lewat kutipan tersebut. Sangat disayangkan sekali persoalan sosial yang terjadi antara manusia. 
 Dari beberapa cerpen karya M. Shoim di atas ada beberapa cerpen alur cerita yang masih menggantung tidak jelas ujung dan maksudnya akan kemana. Klimaks yang kurang jelas. Sehingga itu merupakan kelemahan dari beberapa cerpen di atas. Seperti dibuktikan pada kutipan cerpen berjudul “Sorot Mata Syaila” berikut ini: 
“Sorot sepasang mata Syaila makin kuat menembus kabut. Seperti juga seekor kucing hitam, sosok itu melayang dan menyambarku. Aku terjatuh. Tengkurap di lantai lorong yang basah. Ada bunyi kelepak yang datang menyerbu. Makin riuh di telingaku. Aku membeku”. 
 “Lalu di manakah Syaila? Perempuan itu telah melenyap bersama gelap. Sosoknya menghilang tanpa bayang. Sebagai kucing hitam, dia membenam dalam kelam”. 
 Sudah terlihat dengan jelas dari dua kutipan di atas bahwa sosok Syaila tidak tahu siapakah dia sebenarnya kenapa dia tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa jejak. Penulis seperti terkesan memberikan cerita menggantung dan membuat pembaca bertanya-tanya. Pada akhir cerita, bahwa tidak jelas perempuan tersebut siapa? Apakah dia sekongkol dan sengaja untuk membawa tokoh Aku ke dalam lorong tersebut. Cerita pendek tersebut dipotong begitu saja tanpa kejelasan yang pasti. Perbedaan yang banyak dari kelima cerpen di atas terkait segi strukturalnya saja. Tetapi masih dikaji dalam kritik sosial dan sosiologi sastra. Seperti cerpen yang kedua berjudul “Tahi Lalat” bahwa masih dalam kritik sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. Terdapat wujud kritik sosial budaya yaitu bahwa pandangan pola pikir masyarakat terhadap perkataan warga yang selalu mengatakannya diam-diam dengan suara pelan. Kabar tersebut semakin menyebar di desa mereka. Mereka mengatakan kepada satu perempuan yang ada di desa tersebut. Dibuktikan pada kutipan di bawah ini: 
 “Awas, ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!” kata Bakrul memulai pembicaraan sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut. 
 “Di sebelah mana?” aku mengorek 
 “Di sebelah kiri, agak ke samping,” jawab Bakrul “Besar?” 
“Katanya sebesar biji randu.” 
 Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat. 
 Pernyataan di atas sudah tergambar dengan jelas bahwa penulis masih menggunakan kritik sosial di dalamnya. Kritik sosial yang terdapat pada lingkungan masyarakat. Terdapat beberapa kritikan diantaranya, adanya penokohan, yaitu tokoh Aku, Pak Lurah, Istri Pak Lurah, Bakrul, Pak Bayan, Laela, dan warga desa. Adapun sifat yang tergambar dari cerpen tersebut bersifat tetap, yang artinya para warga tersebut selalu membicarakan masalah tahi lalat yang ada di dada istri Pak Lurah. Bias kita ketahui bahwa kritik sosial juga luas di dalam kepemimpinan Pak Lurah juga adanya unsur politik yaitu janji kepada warga yang tidak kunjung ditepati. Bermain politik sungguh benar-benar disuguhkan penulis lewat kelima cerpen tersebut. 
 Damono (1984:6) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah telaah objektif dan ilmiah tentang menusia di dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Penerapan pendekatan ini juga bertujuan untuk menyatakan bahwa rekaan dalam karya sastra tidak berlawanan dengan dunia nyata. Penulis mengkaji dari dua sisi tersebut yaitu adanya kritik sosial dan sosiologi sastra tentang linkungan politik dan proses sosial yang terjadi secara ilmiah tentang manusia dan hubungannya. Politik yang digambarkan juga terlihat pada kelima cerpen tersebut. Penulis seperti ingin menunjukkan bahwa banyak dalam dunia yang benar-benar terjadi artinya banyak permainan politik yang digunakan oleh pemerintah maupun pihak-pihak tertentu. Seperti, pada cerpen berjudul “Sepatu Jinjit Aryanti” yang menggambarkan perjalanan politik dengan memanfaatkan wanita tanpa memandang status dengan menggunakan kedudukan yang tinggi. Dimana bahwa tokoh Aryanti menjadi korban untuk melakukan skenario kasus pembunuhan besar yang harus dilakukannya atas perintah dari atasan, dengan dimanfaatkan paras cantiknya yang dapat memikat kaum adam. Hal tersebut digambarkan dengan perilaku tokoh Aku. Di dalam cerita pendek tersebut digambarkan tokoh Aku terpikat oleh kecantikan dan perilaku manis Aryanti dengan dialog-dialog intim antara Aryanti dan tokoh Aku. Polemik yang berbeda-beda dari kelima cerpen tersebut yang berpengaruh besar penulis di setiap cerpennya banyak keterkaitan sosial, budaya, dan poltik yang besar. Pengarang membungkus makna dengan cerita yang indah dan menarik serta dikaitkan dengan sudut pandang yang ada pada zaman sekarang. Dengan dikemas secara structural terkait perbedaan tempat, tokoh, dan alur. 
 Dalam Cerita Pendek karya M. Shoim Anwar ini menceritakan tentang permasalahan hukum, asmara, dan penipuan. Anik salah satu tokoh di dalam cerita pendek yang berjudul “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue” menceritakan perempuan yang menjadi korban Bambi yang di iming-imingi akan dimenangkan dalam sidangnya, namun tidak demikian justru Anik dikalahkan dalam persidangan tersebut walaupun Anik sudah memberikan banyak uang tetapi Bambi tidak menepatinya sekalipun. Sungguh sebuau permainan politik lagi yang dimainkan penulis. Dalam cerita tersebut memiliki sifat dan alur yang sangat jelas jadi, mudah dipahami oleh pembaca. Tetapi, disebagian paragraf ada kalimat dan kata yang tidak baku yaitu pada kutipan kata berikut, “katany auntuk”. Cerita ini membahas tentang berbagai permasalahan yang sering terjadi di masyarakat Indonesia sehingga cukup familiar di telinga pembacanya. Banyak pesan, kritikan yang dapat diperoleh setelah membaca cerita pendek ini, dengan cerita ini dapat kita petik suatu pesan bahwa dalam setiap pekerjaan sebisanya dilakukan sebaik mungkin tanpa ikut campur tangan orang lain, dan dengan mudahnya dari beberapa cerpen di atas bahwa manusia denga mudahnya selalu tertipu dengan permainan dan polemik politik yang terjadi saat ini maupun lampau. 
 Pada cerpen terakhir yang berjudul “Jangan ke Istana, Anakku” karya M. Shoim Anwar masih berbau unsur sosial budaya. Tidak hanya kritik sosial tetapi dengan adanya teori struktural genetik. 
Teori Strukturaliseme Genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya (Chalima, 1994). Pada cerpen terakhir ini sungguh berbeda banyak terdapat teori tersendiri di dalamnya semuanya campur aduk. Penulis benar-benar ingin memberikan kesan dan pesan tersendiri kepada cerpen tersebut. Pada pandangan secara mendunia dan keseluruhan penulis menceritakan bahwa tokoh yang diceritakan dalam sebuah kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak, yang diperoleh melalui kekerasan pada warganya maupun bawahannya. Di dalam istana tersebut sungguh banyak misteri yang pemerintahannya terlihat baik-baik saja tetapi diam-diam banyak terdengar desas-desus oleh warga istana. Hal ini dapat digambarkan ketika pada tokoh “aku” menceritakan kisah masa lalunya tentang pahitnya hidup dalam kurungan pagar istana. Sebagaimana pahitnya hidupnya pada masa itu sehingga dia tidak ingin putrinya yang bernama Dewi untuk masuk ke dalam istana yang laknat itu. Dia ingin membangunkan sebuah gubuk pada anaknya, bukan sebuah istana yang penuh banyak misteri bahkan sampai merenggut nyawa ibunya yang sampai saat ini tidak ditemukan keberadaannya di dalam istana. Struktur sosial pada cerpen “ Jangan ke istana, Anakku” karya M.Shoim Anwar yaitu struktur sosial pada zaman kerajaan dimana banyak hal terjadi seperti keluarga tokoh “Aku” yang mendapatkan tindakan yang semena- mena oleh kerajaan, mulai dari permainan sosial budayanya yang masih penuh misteri di dalamnya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan di bawah ini: 
 "Perihal penari istana memang sudah banyak yang mendengar. Orang-orang suruhan istana juga kelayapan mencari para perempuan cantik untuk dibawa ke istana dengan dalih mau dijadikan penari, khusus menghibur keluarga istana beserta tamu-tamu agungnya. Sesekali memang terdengar alunan gending dari dalam istana. Tapi hingga kini perempuan-perempuan cantik itu tak ada yang kembali ke desanya. Kabar mengerikan malah menyeruak, konon perempuan-perempuan cantik itu dijadikan wadal alias tumbal istana, dimasukkan ke sumur lorong gelap bawah tanah yang dihuni Nyi Blorong peliharaan istana. Konon, di malam Rabu Kliwon, ketika gending terdengar di tengah malam disertai bau kembang dan kemenyan, saat itulah waktunya wadal diumpankan. Paginya, burung-burung gagak beterbangan di genting istana, berkaok-kaok memberi isyarat melengking-lengking. Adakah dia mencium darah dari sisa korban di lorong gelap bawah tanah?".
 Pernyataan pada bukti kutipan tersebut sungguh sebuah kritik sosial budaya yang menurut saya masih menjadi misteri dan menggantung. Bagaimana tidak, bahwa pembaca sudah sangat jelas di dalam istana tidak diketahui fungsi dan tujuan dari dilakukannya tumbal istana tersebut. Masih banyak orang yang memiliki jabatan tinggi namun salah mengunakan jabatan tersebut. Karena jabatan itu, mereka bisa berbuat sewenang-wenang kepada pihak kecil. Semua seketika direnggut oleh kekuasaan tertinggi pemerintahan pada masa itu, yaitu di sebuah istana yang penuh misteri dan tanda tanya kebahagiaan keluarga yang hangat dan nyaman dahulunya kini direnggut seenaknya dengan mengambil keuntungan tersendiri. Bisa dilihat dan dipahami dari kelima cerpen di atas banyak persamaan dan juga perbedaan yang dapat kita pahami baik secara struktural maupun objektif. Banyak permainan politik, kritik sosial yang digunakan, kritik sosial yang mencakup segala aspek yang ada. Bahwa kesadaran penulis dalam menulis cerpen yang tergambar masih banyak masyarakat yang tidak sadar akan permainan uang yang akan digunakan dengan unsur politik, masyarakat hidup dengan sebuah topeng dan kebohongan, masyarakat yang hanya berpihak hanya karena masih terlihat dari luar, dan masyrakat yang hidup tidak mampu, tetapi demi keluarganya dia rela mencari nafkah meskipun sekalinya berbahaya. Sekali dan sekali lagi permainan lingkungan politik sosial dan uang yang digunakan secara semena-mena pada kelima cerpen tersebut. Banyak pesan yang tertuang yang dapat dipetik tetapi tidak untuk disalahgunakan jabatan maupun kekuasaan yang dimiliki. Sungguh penggambaran tema, tokoh, suasana, dan epic serta memiliki masing-masing porsinya.


Daftar Pustaka
https://core.ac.uk/download/pdf/162024099.pdf. Diakses pada 07 Juli 2021, pukul 16:08

Rendra, W.S. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Kepel Press.


Komentar