Kritik Esai Puisi Karya Wiji Thukul

 


PERINGATAN 


Jika rakyat pergi


Ketika penguasa pidato


Kita harus hati-hati


Barangkali mereka putus asa


Kalau rakyat bersembunyi


Dan berbisik-bisik


Ketika membicarakan masalahnya sendiri


Penguasa harus waspada dan belajar mendengar


Bila rakyat berani mengeluh


Itu artinya sudah gasat


Dan bila omongan penguasa


Tidak boleh dibantah


Kebenaran pasti terancam


Apabila usul ditolak tanpa ditimbang


Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan


Dituduh subversif dan mengganggu keamanan


Maka hanya ada satu kata: lawan!



                  Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu


Apa guna punya ilmu


Kalau hanya untuk mengibuli


Apa gunanya banyak baca buku


Kalau mulut kau bungkam melulu


Di mana-mana moncong senjata


Berdiri gagah


Kongkalikong


Dengan kaum cukong


Di desa-desa


Rakyat dipaksa


Menjual tanah


Tapi, tapi, tapi, tapi


Dengan harga murah


Apa guna banyak baca buku


Kalau mulut kau bungkam melulu


Dari kedua puisi karya Wiji Thukul di atas diusung dengan pemilihan kalimat yang memang sangat cocok untuk menyampaikan kritik sosial. Pemilihan diksi yang digunakan mudah, lugas, dan tegas. Bagi Wiji Thukul kedua karya tersebut kesewenang-wenangan serta tradisi bungkam orde baru dapat dilawan melalui kesenian, yaitu dengan menuangkan puisi di atas sebagai hasil dari ketidakadilan dalam pemerintahan pada saat itu. Dari kedua puisi di atas ketika rezim orde baru kaum-kaum muda dirampas haknya dan dibatasi setiap aktivitasnya yang dilakukan pada saat itu. Banyak orang-orang yang hanya menentang tetapi tidak seberani Wiji Thukul yang selalu berdiri menyuarakan dan melawan ketidakadilan yang ada. 

Dalam pusi karya Wiji Thukul yang berjudul "Peringatan", makna yang terdapat dalam puisi tersebut mewakili perasaan rakyat yang diperlakukan secara tidak adil di negara ini. Puisi tersebut mengandung makna yang ditujukan kepada pemerintahan yang haus akan kekuasaan sehingga rakyat merasa terbebani atas perlakuan yang diberikan. Wiji Thukul dalam karyanya tersebut mengingatkan kepada pemerintah pada masa orde baru bahwa rakyat sudah tidak mau dengan sistem pemerintahan yang tirani. Wiji Thukul menjelaskan bahwa banyak hal yang terjadi pada pihak pemerintah yang benar-benar merupakan sebuah ruang gelap bagi negeri ini dengan perlakuan yang dianggap semena-mena terhadap rakyat. Bagaimanapun pemerintah sudah dianggap tutup telinga dalam hal apapun. Hal itu dapat buktikan kutipan puisi di bawah ini:


Apabila usul ditolak tanpa ditimbang


Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan


Dituduh subversif dan mengganggu keamanan


Rakyat pun sudah acuh tak acuh pada pemerintahan pada saat itu dan ketika bungkam semua kebenaran pada saat itu yang juga tidak diperoleh dimanapun. Pada saat itu juga karya puisi Wiji Thukul di atas tidak tanggung tanggung mengajak masyarakat dan menyuarakan keadilan sebagai bentuk hak asasi manusia. Tegas dan berani itu lah yang di tuangkan pada puisi "Peringatan" seperti pads kutipan puisi di bawah ini:


Maka hanya ada satu kata: lawan!


Kutipan di atas menjelaskan bahwa kata lawan dengan diakhiri tanda seru merupakan sebuah awal dan semangat dari Wiji Thukul dengan mengajak rakyat untuk melawan pemerintahan yang mengekang dan membodohi. Adapun nilai yang terkandung dalam puisi tersebut rasa rasionalisme yang tinggi dan kebenaran Wiji Thukul dalam kebenaran yang benar-benar terjadi pada saat itu, yaitu rakyat yang harus tunduk pada pemerintahan yang haus akan kekuasaan. 


Kedua yaitu puisi karya Wiji Thukul yang berjudul " Di bawah Selimut Kedamaian Palsu" yang menggambarkan pandangannya tentang kaum yang tertindas pada saat itu. Puisi tersebut mempunyai makna yang sangat mendalam bagi pembaca, bahwa pada kenyataannya sesuai dengan apa yang kita alami saat ini, seperti halnya penindasan, ketidakadilan, dan perlakuan-perlakuan yang semena-mena pada rakyat. Dalam puisi tersebut adanya sindiran yang ditujukan kepada pemerintahan yang berkomplot dengan tujuan seperti memeras rakyat dengan hal-hal yang tidak baik yang dapat merugikan rakyat tetapi dapat menguntungkan bagi pemerintahan, seperti halnya pada kutipan puisi di bawah ini. 


Di mana-mana moncong senjata


Berdiri gagah


Kongkalikong


Dengan kaum cukong


Puisi tersebut adanya bahasa kiasan paradoks, yang seolah-olah penulis menyampaikan pesan bahwa terdapat beberapa orang yang mempunyai banyak ilmu, tetapi pada akhirnya mereka menyalahgunakan ilmu tersebut. Pada dasarnya ilmu digunakan dan diserap positif dengan catatan tidak membodohi orang dan percuma saja banyak ilmu tetapi mulut hanya bisa bungkam tak berkutik, seperti pada kutipan puisi berikut. 


Apa guna punya ilmu


Kalau hanya untuk mengibuli


Apa gunanya banyak baca buku


Kalau mulut kau bungkam melulu


Komentar