Kritik Esai Cerpen "Sulastri dan Empat Lelaki"

 


Sumber foto: 

https://pin.it/5uM89iM

Cerita pendek karya M.shoim Anwar yang berujudul “Sulastri dan Empat Lelaki” menceritakan kehidupan yang berada di tepi laut yaitu laut merah. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak beterbangan menyisir permukaan air. Tiba seorang polisi yang berdiri di depan posnya. Begitulah kehidupan di tepi laut merah yang nampak asing bagi pembaca seperti saya yang baru membaca, sudah disuguhkan dan seperti terukir dengan jelas pemandangan yang indah jika dibayangkan. Kisah Sulastri yang pada saat itu berada di tepi laut merah tiba-tiba teringat sosok suaminya yang selalu menyembah hal-hal aneh seperti menyembah kuburan, alat pusaka, dan yang selalu diingatnya, bahwa suaminya tersebut pulang pergi jika sudah menyelesaikan tapanya di tengah laut. Apabila jika sudah mengapung di tengah laut, maka itu sudah dianggap pertapa yang dilakukannya. Sulastri pun terbangun dari ingatannya bayangan tentang suami tiba-tiba sudah hilang. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan bunyi cericitnya sambil menyambar. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama makin besar. Tiba-tiba sulastri terjingkat. Sosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering didingat sebagai sang penerkam muncul dari dalam laut. Sulastripun menyebut namanya 

“Firaun...!” 

Kisah Sulastri dan Empat Lelaki yang sangat mengenah di hati pembaca. Cerita yang membuat pembaca menoleh dan teringat kembali akan kisah di masa lampau yaitu kisah Nabi Musa AS saat berpijak dengan keteguhan bahwa masih ada penolong yang menjadi pegangan. Dengan begitu, Sulastri meminta setulus hatinya agar ditolong dari kekejaman Firaun pada kisah tersebut, yang ingin memerbudak Sulastri dengan cara paksa dan mengikuti perintahnya dengan dijadikan sebagai budak. Tidak luput dengan campur tangan polisi dan perantara yang memang sudah berdiskusi di balik layar dengan memerjual belikan manusia dengan embel-embel pulang ke tanah air tercinta. Nyatanya uang seribu real itu dipergunakan untuk menyuap polisi dan masuk ke kantong perantara sebagai uang tranportasi dan uang makan. Seperti kehidupan politik saat ini yang faktanya, seperti itu sudah tidak luput lagi dari keadilan bahwa apapun bisa diselesaikan jika kita mempunyai uang banyak. Menoleh kembali kepada kisah Nabi Musa AS yang pada saat itu dihadapkan pada sosok firaun dan dengan tongkatnya dia bisa melawan kejahatan dan kekejaman Firaun. Seperti halnya yang dialami Sulastri bahwa ketika dia merasa terdesak oleh sosok bertubuh besar dan kekar, dia dihampiri oleh seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih. Wajahnya yang tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Sulastri menyebut nama lelaki di hadapnnya, 

“Ya, Musa...” CCerpen yang membuat pembacanya seakan terenyuh dan terbawa suasana sehingga masuk ke dalam dan membayangkan kisah Sulastri dan Empat Lelaki tersebut. Dengan dipaduhkan gaya bahasa menarik, sederhana, mudah dipahami, dan tidak bereblit-belit pada setiap kata dan kalimatnya yang mudah tersampaikan kepada pembaca dan khalayak ramai. Cerpen karya M. Shoim Anwar tersebut mempunyai penggambaran tokoh yang sangat jelas dan setiap karakter tokoh mempunyai setiap peranan tersendiri yang bersifat tetap dan sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Beberapa tokoh diantaranya yaitu, Sulastri, Polisi, dan Markam, Firaun, Musa. Bisa dikatakan kelima hal tersebut sendiri adalah sebuah makna simbolik yang disuguhkan khusus dan membuat pembaca bertanya-bertanya. Penggambaran tokoh yang mempunyai nilai dan maknanya sendiri. Sehingga dapat dengan mudah dipahami indah oleh pembaca. Dengan tokoh yang mempunyai nilai dan karakternya sendiri, membuat pembaca seperti menoleh ke belakang dan mengingat-ingat kembali sosok tokoh tersebut sudah banyak dijumpai di kehidupan yang dulu bahkan sekarang. Dalam aspek religi, cerpen karya M. Shoim Anwar tersebut mendeskripsikan nilai religius dilihat dari segi agama Islam. Nilai religius dalam sastra menuntun manusia ke arah segala makna yang baik. Manusia akan menjadi pribadi yang berhati nurani dan berakhlak mulia. Sikap-sikap ini akan tampak ketika manusia berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Bahkan aspek religiutas yang terdapat dalam cerpen Sulastri dan Empat lelakinya termasuk ke dalam aspek religusitas dalam dimensi pengalaman dan dimensi ritual. Dibuktikan pada kutipan di bawah ini: 

“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!” Kutipan tersebut menjelaskan tentang apa yang sudah dialami oleh Sulastri, dengan memerhatikan dimensi pengalaman. Ketika Markam bertapa, Sulastri mencoba untuk menghidupi dirinya dengan anaknya tanpa disebutkan hal apa yang dilakukan oleh Sulastri. Dengan begitu, Sulastri sedikit banyak melibatkan rasa dalam religiusitasnya dengan mencari dan mengalaminya sendiri.

Tidak hanya terdapat dimensi pengalaman dalam aspek religuitas dalam cerpen tersebut, adanya dimensi ritual ketika suaminya yang bernama Markam. Dibuktikan pada kutipan cerpen di bawah ini:

Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo. “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”

“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meinggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Hal tersebut membuktikan bahwa Markam suami Sulastri hanya percaya pada benda-benda pusakan bahkan sampai melakukan tapa di bengawan solo.

Bahasa dalam cerpen tersebut sarat akan makna dan pesan ideologis pengarang melalui tokoh-tokoh imajiner yang dikontruksikannya. Ideologi tokoh dalam cerpen tersebut relatif nampak, baik secara eksplisit, maupun implisit, sekalipun cerpen dari sisi muatan konflik. Persoalan dan potret yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah ideologi atau paham keagamaan. Ideologi dalam hal cerpen tersebut, disebarkan tidak hanya secara kolektif, melainkan juga bisa secara individual. Ada tokoh-tokoh atau pihak yang memiliki peran dan otoritas untuk menyebarkan ideologinya kepada kalangan tertentu. Keberhasilan pihak dan otoritas tersebut, bergantung kepada pihak sasaranCerpen ini menarik bagi pembaca karena argumentasi-argumentasi dan pertanyaan-pertanyaan yang diuraikan dan diajukan (konflik paham keagamaan).

Dalam cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat lelaki tersebut, tokoh Sulastri sebagai seorang perempuan yang dijadikan budak oleh Firaun. Sulastri tidak hanya dijadikan budak saja, tetapi mengalami bentuk kekerasan Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan cerpen sebagai berikut:

Tangan Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hampir putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastri yang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itu pun jebol dari akarnya. Hal tersebut menggambarkan kehidupan saat ini bahwa manusia yang berkuasa sekalipun bisa dengan mudahnya melakukan kekerasan pada perempuan terutama pelaku yang melakukan adalah seorang lelaki. Dilihat di negeri kita sendiri yaitu di Indonesia  banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu  para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan, tetapi hal itu pemerintah tidak menggubrisnya sama sekali. Bahkan ada yang menyogok dengan uang agar yang berkuasa tidak terkena hukum.

Dalam cerpen tersebut dapat ditinjau dalam segi sosial, Sulasttri adalah kaum tertindas atau kelas bawah. Dengan meninggikan ideologi bahwa dia merupakan kelas bawah. Dengan begitu kelas bawah tidak akan pernah bertemu dalam serikat yang sudah diperjual belikan oleh perantara dan polisi yang disebut penguasa. Penguasa yang dianggap dalam cerpen tersebut ialah Firaun yang dengan mudahnya menindas kelas bahwa bahkan seorang perempuan. Menurut saya, cerpen tersebut fantasi dan menarik karena kita sebagai pembaca dibuat naik turun dan terombang-ambing untuk masuk ke dalam dan menghayalkannya.

Cerpen karya M. Shoim Anwar kali ini mempunyai alur maju dan mundur yang sangat menarik. Pada alur maju cerpen tersebut disebut juga dengan alur progresif, penulis menyajikan jalan ceritanya secara berurutan dimlai dari tahapan perkenalan ke tahapan penyelesaian secara urut dan tidak diacak. Sedangkan alur mundur adalah cerita dengan peristiwa dari akhir ke awal, penulis mengawali kisah dengan konflik, lalu penyelesaian, dan memperlihatkan masa lalu atau disebut dengan kilas balik. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan cerpen di bawah ini:

Di bibir Laut Merah, Sulastri teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo. Hal tersebut sudah membuktikan bahwa tokoh Sulastri mengingat kembali kehidupannya yang lalu dan teringat sosok suaminya yang bernama Markam.

Tokoh perempuan yang bernama Sulastri dalam cerpen tersebut dia mengalami penindasan dan terjajah baik terjajah karena sikap suaminya yang hanya asyik dengan dunia, bahkan dia harus menjadi budak di negeri orang. betapa tersiksanya dia, hanya karena sesuap nasi dia harus jauh dari keluarga dan berjuang sendiri di negeri orang. Sedangkan suaminya hanya bisa bertapa dan melakukan hal-hal yang tidak penting yang dipercayainya dapat menghidupi anak dan istrinya. Hal tersebut tergambar pada kutipan cerpen di bawah ini:

“Saya ditelantarkan suami,Ya Musa. Saya datang ke sini dengan menjual seluruh warisan kami.” 

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

Sulastri meminta bantuan kepada Musa tetapi Musa tidak ingin menolongnya karena dia mempunyai suami yang menyembah berhala dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidaksewajarnya.

Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa makna simbolis, makna sosial, dan makna religi yang tergambar memiliki moral dan nilai tersendiri. Bahwa yang tergambar dari cerpen tersebut di sini yang lebih mendominan yaitu lelaki. Bahwa lelaki lebih berkuasa di kalangan manapun ketika seorang lelaki tersebut mempunyai uang, kekuatan, kekuasaan, dan kepribadian baik dan buruknya. Jika dikaitkan dengan kehidupan saat ini bahwa dengan kekuasaan kita sudah tidak memerdulikan lagi hal-hal yang dianggap tidak penting sekalipun manusia bahkan seorang perempuan. Tetapi, tidak semua lelaki seperti itu. Dari keempat lelaki tersebut yaitu, Firaun, Markam, Musa, dan Polisi. Mereka mempunyai cara dan sudut pandang sendiri ketika menilai arti penting sebuah kehidupan religi dan sosial. Keempat tokoh tersebut mempunyai sifat dan karakter yang tetap yang artinya, sudah tertanam di benak mereka bahwa bisa memilih dan memilah mana hal yang dianggap penting, tidak penting, adil dan tidak adil. Seperti halnya tokoh Musa yang tidak kenal dia seorang lelaki atau perempuan tapi dia membantu dengan kejaiban tongkatnya bahwa seorang perempuan sekalipun suaminya seorang penyembah berhala, tetapi harus tetap membantu. Amanat atau pesan yang terdapat pada cerpen Sulastri dan Empat lelaki karya M. Shoim Anwar, bahwa di kehidupan manusia saat ini maupun lampau kita harus tunduk pada keadilan bukan kekuasaan tertinggi. Karena harta dan kekuasaan tertinggi pun tidak akan di bawah sampai mati apalagi sampai menindas dan melakukan kekerasan pada seorang perempuan. Sungguh cerpen yang merupakan karya sastra yang berkesan dan membekas bagi saya sebagai pembaca. Disuguhkan dengan kalimat yang kokoh dan sederhana, lugas, dan tegas.

Komentar