“Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”
Ulama Abiyasa adalah guru
yang mulia
panutan para kawula dari
awal kisah
ia adalah cagak yang tegak
tak pernah silau oleh
gebyar dunia
tak pernah ngiler oleh
umpan penguasa
tak pernah ngesot ke istana
untuk meminta jatah
tak pernah gentar oleh
gertak sejuta tombak
tak pernah terpana oleh
singgasana raja-raja
Ulama Abiyasa merengkuh
teguh hati dan lidah
marwah digenggam hingga ke
dada
tuturnya indah menyemaikan
aroma bunga
senyumnya merasuk hingga ke
sukma
langkahnya menjadi panutan
bijaksana
kehormatan ditegakkan tanpa
sebiji senjata
Ulama Abiyasa bertitah
para raja dan penguasa
bertekuk hormat padanya
tak ada yang berani datang
minta dukungan jadi penguasa
menjadikannya sebagai
pengumpul suara
atau didudukkan di kursi
untuk dipajang di depan massa
diberi pakaian dan penutup
kepala berharga murah
agar tampak sebagai barisan
ulama
Ulama Abiyasa tak
membutuhkan itu semua
datanglah jika ingin
menghaturkan sembah
semua diterima dengan
senyum mempesona
jangan minta diplintirkan
ayat-ayat asal kena
sebab ia lurus apa adanya
mintalah arah dan jalan
sebagai amanah
bukan untuk ditembangkan
sebagai bunga kata-kata
tapi dilaksanakan sepenuh
langkah
Penghujung Desember 2020
Desember 2020
Ayahnya, Resi Palasara, yang menjadi ahli
semadi di Pertapaan Sapta-arga di lereng Gunung Retawu. Sehari-hari Abiyasa
lebih banyak menghabiskan waktunya di sanggar pamujan untuk mendekatkan diri
kepada Sanghyang Widhi. Bapak-anak itu hidup
dalam kesederhanaan duniawi di Pertapaan Ratawu yang berada di lereng Gunung
Sapta Arga. Ketika menginjak dewasa, Abiyasa berketetapan hati menjadi ‘ulama’.
Durgandini memerintahkan Abiyasa menduduki takhta kerajaan. Abiyasa, dengan
segala hormat matur bahwa dirinya tidak siap menjalankan amanah itu. Akan
tetapi, Durgandini kukuh, hanya Abiyasa satu-satunya pilihan yang bisa
menyelamatkan kehormatan takhta Astina. Negara tidak boleh jatuh ke genggaman
pihak-pihak yang berisiko. Tidak
terlintas di benak Abiyasa atau kalbunya bahwa pada suatu ketika jalan hidupnya
mengharuskannya duduk di singgasana negara besar Astina. Bahkan, Abiyasa menolak perjalanannya ke tanah leluhurnya
dilepas dan diantar dengan seremoni kerajaan. Ia memilih menjadi dirinya
sendiri sebagai rakyat biasa. Abiyasa bahkan tidak mengetahui dan tidak
mempelajari pengetahuan mengenai kerajaan dan dengan tampil apa adanya tidak
ingin disebut raja sekalipun dia menjadi raja. Kemuliaan hidup Abiyasa pulang
dan tinggal di Ratawu untuk melanjutkan nawaitu hidupnya menjadi ‘ulama’. Ia memahami
benar bahwa jati dirinya memang di sana, bukan di jagat politik praktis dan
kekuasaan pragmatis yang hukum alamnya penuh dengan penggembalaan nafsu
duniawi. Abiyasa terkenal dengan orang yang tegas, berwibawa dan sederhana. Hal
itu dapat dibuktikan sebagai berikut.
Ulama Abiyasa adalah guru
yang mulia
panutan para kawula dari
awal kisah
ia adalah cagak yang tegak
tak pernah silau oleh
gebyar dunia
tak pernah ngiler oleh
umpan penguasa
tak pernah ngesot ke istana
untuk meminta jatah
tak pernah gentar oleh
gertak sejuta tombak
tak pernah terpana oleh
singgasana raja-raja
Sebagai ulama dan Begawan
ia selalu menebar kebaikan dan menebarkan ajaran-ajaran luhur. Abiyasa sosok
yang sederhana dengan menjadi panutan untuk semua orang. Kehormatan dirinya
selalu digenggam dimanapun ia berada. Hal itu dibuktikan pada bait puisi
berikut.
Ulama Abiyasa merengkuh
teguh hati dan lidah
marwah digenggam hingga ke
dada
tuturnya indah menyemaikan
aroma bunga
senyumnya merasuk hingga ke
sukma
langkahnya menjadi panutan
bijaksana
kehormatan ditegakkan tanpa
sebiji senjata
Abiyasa sebagai baginda yang
berkuasa atas rakyat dan raja lainnya, tidak meminta untuk tunduk akan
kekuasaannya yang tinggi. Abiyasa hanya ingin tampil adanya dan selalu berada
di jalan yang lurus yang diperlakukan tidak hanya dengan cara dipuji dengan
sepatah kata, tetapi dibuktikan sebagai perbuatan yang apa adanya tidak
berbelok dengan apa yang diajarkan. Selalu amanah atas apa yang dilakukan
setiap langkah perbuatannya. Seseorang yang tidak ingin dipuji layaknya baginda
berkuasa tetapi datang dengan membawa amanah yang baik. Hal tersebut dapat
dibuktikan pada bait puisi berikut.
Ulama Abiyasa bertitah
para raja dan penguasa
bertekuk hormat padanya
tak ada yang berani datang
minta dukungan jadi penguasa
menjadikannya sebagai
pengumpul suara
atau didudukkan di kursi
untuk dipajang di depan massa
diberi pakaian dan penutup
kepala berharga murah
agar tampak sebagai barisan
ulama
Ulama Abiyasa tak
membutuhkan itu semua
datanglah jika ingin
menghaturkan sembah
semua diterima dengan
senyum mempesona
jangan minta diplintirkan
ayat-ayat asal kena
sebab ia lurus apa adanya
mintalah arah dan jalan
sebagai amanah
bukan untuk ditembangkan
sebagai bunga kata-kata
tapi dilaksanakan sepenuh
langkah
Dalam cerita puisi Ulama Abiyasa karya M. Shoim tersebut
ada keterkaitan dengan kehidupan saat ini, yaitu seorang yang mempunyai kuasa
tertinggi pun harus bijaksana dengan tidak hanya dibuktikan lewat lontaran
pujian kata, tetapi dengan dilakukan dengan perbuatan yang amanah. Di dalam
kuasa tertinggi pun kita sebagai manusia sama tak ada pembeda. Manusia saat ini
yang terlihat bijaksana dan amanah tapi dengan banyak syarat yang harus
dipenuhi, agar dipuji layaknya seorang ulama. Banyak perebutan kekuasaan yang
tidak amanah dan tidak lurus sesuai arah dan tujuan yang akan dicapai. Para petinggi
dan penguasa sekarang, hanya meminta sebuah lontaran pujian agar dipandang
amanah, baik, bijaksana, dan mulia. Kecurangan terjadi dimana-mana dengan
mengajukan syarat. Kelebihan
dari puisi karya M. Shoim Anwar tersebut, bahwa kisah ulama Abiyasa mempunyai
banyak hikmah yang dapat diambil yaitu, bahwa Abiyasa merasa kekuasaan duniawi
bukan tempat yang sesungguhnya bagi ia. Dunianya hanya membangun peradaban
dunia yang bermuara pada sikap menghormati, kemuliaan dan keluhuran hidup. Bahwa
dalam makna dari puisi tersebut adalah dalam memimpin, berbicara itu
keniscayaan yang penting yang didapat dari diri sendiri dengan tetap tampil
menjadi diri sendiri yang apa adanya yang tidak memuliakan kata pujian dari
seseorang.
Komentar
Posting Komentar